DEPRESI PADA LANSIA
- PENDAHULUAN
Menjadi tua adalah suatu proses
natural/alami yang terjadi pada manusia . Secara umum proses penuaan ini
menyangkut 2 komponen utama yaitu komponen biologis dan komponen psikologis.
Perubahan pada kedua komponen ditambah dengan sikap masyarakat terhadapnya akan
mempengaruhi kualitas hidup lansia. Jika mereka dihargai, dicintai dan
dihormati keluarganya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kontribusi mereka
di komunitas tempat mereka hidup diakui dan dihargai maka lansia menjadi sangat
aktif dan hidup mandiri (Watson Roger, 2003).
Menurut perkiraan dari United States
Bureau of Census 1993, populasi usia lanjut di Indonesia diproyeksikan pada
tahun 1990 – 2023 akan naik 414 %, suatu angka tertinggi di seluruh dunia dan
pada tahun 2020, Indonesia akan menempati urutan keempat jumlah usia lanjut
paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika (Depkes RI, 2001). Fenomena ini
akan berdampak pada semakin tingginya masalah yang akan dihadapi baik secara
biologis, psikologis dan sosiokultural. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
mengidentifikasi lansia sebagai kelompok masyarakat yang mudah terserang
kemunduran fisik dan mental. Dilihat dari perspektif keperawatan dikatakan ada
empat besar penderitaan geriatrik yaitu immobilisasi, ketidakstabilan,
inkontinensia, dan gangguan intelektual. Sifat umum dari empat besar tersebut
adalah 1) mempunyai masalah yang kompleks, 2) tidak ada pengobatan yang
sederhana, 3) hancurnya kemandirian, dan 4) membutuhkan bantuan orang lain yang
berkaitan erat dengan keperawatan (Isaac, 1981).
Depresi merupakan problem kesehatan
masyarakat yang cukup serius. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
depresi berada pada urutan ke empat penyakit di dunia. Sekitar 20 % wanita dan
12 % pria dalam suatu waktu kehidupannya pernah mengalami depresi (Amir N,
2005). Depresi adalah kondisi umum yang terjadi pada lansia. Kondisi ini sering
berhubungan dengan kondisi sosial, kejadian hidup seperti kehilangan, masuk
rumah sakit, menderita sakit atau merasa ditolak oleh teman dan keluarganya
serta masalah fisik yang dialaminya. Cash, H (1998) dalam Hawari (2001)
mengemukakan bahwa 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi dalam kehidupannya,
selanjutnya 5-15 % para pasien-pasien depresi melakukan bunuh diri setiap tahun.
- PENGERTIAN DEPRESI
Dadang Hawari (2001) menyebutkan
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga menyebabkan
hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality
Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian yang utuh (tidak mengalami
keretakan kepribadian/spliting of personality, perilaku dapat mengganggu
tetapi masih dalam batas-batas normal.
Jusni (2003) menyatakan Depresi adalah
perasaan sedih dan tertekan yang menetap, perasaan berat sedemikian beratnya
sehingga tidak bisa melaksanakan fungsi sehari-hari sebagai orang tua, pegawai,
pasangan hidup, dan pelajar.
- STRESOR PENCETUS
Stuart dan Sundeen (1998), menyatakan
ada empat sumber utama yang dapat mencetuskan gangguan alam depresi yaitu :
- Kehilangan keterikatan
Kehilangan nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
- Peristiwa besar dalam kehidupan
Kegagalan dalam memyelesaikan masalah,
kegagalan dalam upaya yang keras sehingga menimbulkan ketidak berdayaan,
menyalahkan diri sendiri, keputusasaan, dan rasa tidak berharga.
- Peran dan ketegangan peran
Sering ditemukan adanya ketegangan
peran dimana peran tidak sesuai ataupun ketidak mampuan melaksanakan peran
dapat menjadi stressor pencetus depresi.
- Perubahan fisiologik
Diakibatkan oleh obat-obatan atau
berbagai penyakit fisik kronik yang melemahkan tubuh seperti infeksi,
neoplasma, gangguan keseimbangan metabolik, dan HIV/AIDS.
- FAKTOR RESIKO DEPRESI
Menurut Amir N (2005), faktor resiko
depresi adalah jenis kelamin (wanita lebih cepat depresi dibandingkan
laki-laki), usia rata-rata awitan antara 20-40 tahun), status perkawinan
terutama individu yang bercerai atau berpisah, geografis (penduduk dikota lebih
sering depresi daripada penduduk di desa), riwayat keluarga yang menderita
gangguan depresi (kemungkinan lebih sering terjadi depresi), kepribadian :
mudah cemas, hipersensitif, dan lebih tergantung orang lain, dukungan sosial
yaitu seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam masyarakat, stresor sosial :
peristiwa-peristiwa baik akut maupun kronik, tidak bekerja terutama individu
yang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur.
Depkes RI (2001) menyatakan ada
beberapa keadaan yang beresiko menimbulkan depresi yaitu kehilangan/meninggal
orang (objek) yang dicintai, sikap psimistik, kecendrungan berasumsi negatif
terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi,
berpenyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang kuat.
- GAMBARAN KLINIS DEPRESI PADA USIA LANJUT.
Mengenali depresi pada usia lanjut
memerlukan suatu keterampilan dan pengalaman, karena manifestasi gejala-gejala
depresi klasik (perasaan sedih, kurang semangat, hilangnya minat/hobi atau
menurunya aktivitas) sering tidak muncul. Sangat tidak mudah untuk membedakan
sekuele gejala psikologik akibat penyakit fisik dari gangguan depresi atau
gejala somatik depresi dari efek sistemik penyakit fisik. Keduanya bisa saja
terjadi pada seorang individu usia lanjut pada saat yang sama. Usia lanjut yang
mengalami depresi bisa saja mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan
menyangkal adanya mood depresi, yang sering terlihat adalah gejala
hilangnya tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur, atau
kehilangan rasa sakit/nyeri (Depkes RI, 2001).
Menurut Brodaty, 1991 dalam Depkes RI
(2001), gejala yang sering muncul adalah anxietas atau kecemasan, preokupasi
gejala fisik, perlambatan motorik, kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran
bunuh diri, dan insomnia. Sedangkan gejala depersonalisasi, rasa bersalah,
minat seksual menurun agak jarang. Sebagai petunjuk kearah depresi perlu
diperhatikan tanda-tanda berikut (Depkes RI, 2001) : rasa lelah yang terus
menerus bahkan juga sewaktu beristirahat, kehilangan kesenangan yang biasanya
dapat ia nikmati (tidak merasa senang lagi jika dikunjungi oleh cucu-cucunya),
dan mulai menarik diri dari kegiatan dan interaksi sosial.
Gambaran klinis depresi pada usia
lanjut dibandingkan dengan pasien yang lebih muda berbeda, usia lanjut
cenderung meminimalkan atau menyangkal mood depresinya dan lebih banyak
menonjolkan gejala somatiknya, disamping mengeluh tentang gangguan memori, juga
pada umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena kurang dapat menerima
penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan depresi yang mereka alami.
- DIAGNOSA DEPRESI
Gangguan depresi pada usia lanjut
ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis gangguan
Jiwa di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10 (International
Classification of Deseases 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi
ringan, sedang, dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta
dampaknya terhadap kehidupan seseorang.
Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM
IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV). Depresi
berat menurut DSM IV jika ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut dibawah
ini, yang terjadi hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari gejala
tersebut adalah mood terdepresi atau hilangnya rasa senang/minat.
Gejala-gejala tersebut :
- Mood depresi hampir sepanjang hari
- Hilang miknat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal
- Berat badan menurun atau bertambah
- Insomnia atau hipersomnia
- Agitasi atau retardasi psikomotor
- Kelelahan dan tidak punya tenaga
- Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan
- Sulit berkonsentrasi
- Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri.
Menurut ICD 10, pada gangguan depresi,
ada tiga gejala utama yaitu :
- Mood terdepresi
- Hiulang minat/semangat
- Hilang tenaga/mudah lelah.
Disertai gejala lain :
- Konsentrasi menurun
- Harga diri menurun
- Perasaan bersalah
- Psimis memandang masa depan
- Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri
- Pola tidur berubah
- Nafsu makan menurun
Pengelompokan berat ringannya depresi,
disajikan dalam tabel 1
Tabel 1.
Pedoman Pengelompokan
Berat Ringannya Depresi
Depresi
|
Gejala utama minimal
|
Gejala lain minimal
|
Fungsi
|
Keterangan
|
Ringan
|
2
|
3
|
Baik
|
Distres
±
|
Sedang
|
2
|
3 atau 4
|
Terganggu
|
Berlangsung
minimal 2 minggu
|
Berat
|
3
|
4
|
Sangat
terganggu
|
Intensitas
gejala berat
|
Sumber : Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001
Menurunnya perawatan diri, perubahan
kebiasaan makan, turunnya berat badan, dapat merupakan tanda awal depresi tapi
dapat juga merupakan tanda-tanda demensia. Oleh karena itu perlu dilakukan juga
pemeriksaan fungsi kognitif dengan Mini Mental State Examination (MMSE) atau
Abbreviated Mental Test (AMT)
- PEMERIKSAAN PASIEN DEPRESI
Salah satu langkah penting dalam
penatalaksanaan depresi adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat
ini belum ada suatu konsensus atau prosedur khusus untuk penapisan/skrening
depresi pada populasi usia lanjut. Salah satu instrumen yang dapat membantu
adalah Geriatric Depression Scale (GDS) yang terdiri dari 30 pertanyaan
yang harus dijawab oleh pasien sendiri. GDS ini dapat dimampatkan menjadi 15
pertanyaan saja dan ini mungkin lebih sesuai untuk dipergunakan dalam praktek
umum sebagai alat penapis depresi pada lanjut usia (Depkes RI, 2001). Ada
beberapa pertanyaan pokok yang harus diajukan dalam proses pemeriksaan yaitu :
- Apakah pada dasarnya anda merasa puas dengan kehidupan anda ?
- Apakah hidup anda terasa kosong ?
- Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda ?
- Apakah anda merasa bahagia pada sebagian besar waktu anda ?
Pertanyaan tersebut dapat dilengkapi
dengan mengeksplorasi hal-hal berikut :
- Apakah pasien mempunyai riwayat depresi ?
- Apakah pasien terisolasi secara sosial ?
- Apakah pasien menderita penyakit kronik ?
- Apakah pasien baru saja berkabung ?
Bila ditemukan tanda-tanda yang
mengarah pada depresi harus dilakukan lagi pemeriksaan lebih rinci tentang 1)
Riwayat klinis/anamnesis, 2) pemeriksaan fisik, 3) Pemeriksaan kognitif, 4)
Pemeriksaan status mental, 5) pemeriksaan lain (memerlukan rujukan ke pelayanan
yang lebih spesialistik).
- PROGNOSIS
Roth dkk (1950) dan Murphy (1980) dalam
Depkes RI (2001), menyatakan bahwa hanya sepertiga dari pasien-pasien dengan
depresi yang sembuh setelah selama satu tahun dirujuk kepelayanan psikiatri
usia lanjut. Setengah dari pasien-pasien tersebut mengalami relaps.
Penelitian-penelitian lainnya melaporkan prognosis yang lebih cerah yaitu lebih
dari 60 % sembuh dalam waktu satu tahun. Tingkat mortalitas pada pasien depresi
cukup tinggi yaitu sepertiga dari pasien Murphy meninggal dalam waktu empat
tahun follow up. Penyebab kematian tidaklah berhubungan langsung dengan depresi
tetapiterutama karena penyakit vaskular atau infeksi paru dan bukan bunuh diri.
Prognosis depresi pada lanju usia tidak
banyak berbeda dengan prognosis pada usia muda. Umumnya penderita akan sembuh
dan tetap befungsi dengan baik jika depresi diobati dan ditatalaksana dengan
baik. Hasil terapi yang kurang baik tampaknya berhubungan dengan episode awal
yang parah dan adanya kemorbiditas dengan penyakit lain.
- PENATALAKSANAAN DEPRESI PADA USIA LANJUT
Penatalaksanaan yang adekuat
menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan
multidisiplin yang menyeluruh. Terapi diberikan dengan memperhatikan aspek
individual harapan-harapan pasien, martabat (dignity) dan
otonomi/kemandirian pasien. Problem fisik yang ada bersama-sama dengan penyakit
mental harus diobati.
- Terapi fisik
- Obat (Farmakologis)
Secara umum semua
jenis obat antidepresan sama efektivitasnya. Pengobatan dimulai dengan dosis
separuh dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan sampai ada perbaikan
gejala. Beberapa kelompok anti depresan adalah Trisiklik, SSRI's (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitors), MAOI's (Monoamine Oxidase Inhibitors)
dan Lithium.
- Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
- Terapi Psikologik
- Psikoterapi : Psikoterapi Individu dan kelompok paling efektif dilakukan bersama-sama dengan pemberian anti depresan. Perlu diperhatikan teknik psikoterapi dan kecocokan antara pasien dengan terapis sehingga pasien merasa lebih nyaman, lebih percaya diri dan lebih mampu mengatasi persoalannya sendiri.
- Terapi Kognitif : bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mapu, dsb) ke arah pola pikir yang netral atau yang positif.
- Terapi Keluarga : problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit depresi, sehingga dukungan/support terhadap pasien sangat penting. Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, ada perubahan posisi dari dominasi menjadi dependen pada orang usia lanjut. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustrasi dan putus asa, mengubah dan memperbaiki sikap/struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien.
- Penanganan ansietas : teknik yang umum dipakai adalah program relaksasi progresif baik secara langsung dengan infra struktur (psikolog atau terapis okupasional) atau melalui tape recorder. Teknik ini dapat dilakukan dalam praktek umum sehari-hari.
- KOMORBIDITAS
Komorbiditas didefinisikan sebagai
adanya dua atau lebih gangguan psikiatrik atau gangguan psikiatrik dengan
penyakit fisik lain pada seorang pasien pada waktu yang sama. Komorbiditas
mempunyai implikasi terhadap diagnosis, terapi, dan prognosis. Contoh sakit
kepala, putus asa, retardasi psikomotor agak sulit untuk dikaitkan apakah ini
suatu problem organik atau mungkin suatu keadaan depresi ? Kapan dan bagaimana
memulai terapi antidepresan pada pasien dengan penyakit fisik berat ? Jelas
bahwa kondisi komorbiditas akan memperburuk kualitas hidup dan menghambat
penyembuhan pasien. Menurut Katona dalam Depkes RI (2001), menyatakan kejadian
depresi berat meningkat pada pasien dengan penyakit medik/fisik. Sementara
depresi akan memperkuat gejala fisik. Kemorbiditas juga meningkatkan hendaya
fungsional/disabilitas. Menurut Depkes RI (2001), Kondisi-kondisi Kemorbiditas
yang sering dijumpai adalah :
- Gangguan depresi dan stroke
- Gangguan depresi dan diabetes mellitus
- Gangguan depresi dan infark miokard/penyakit jantung koroner
- Gangguan depresi dan penyakit parkinson
- Gangguan depresi dan penyakit lain (Alzheimer, Huntington, dll)
- KESIMPULAN
Populasi usia lanjut semakin tahun
semakin bertambah dan pertambahan populasi ini diikuti juga oleh semakin
kompleksnya permasalahan yang dihadapi baik fisik maupun psikologis. Kondisi
ini memerlukan perhatian dan penatalaksanaan yang semakin komprehensif. Deteksi
dini depresi pada pasien usia lanjut dengan gangguan/penyakit fisik yang
disertai dengan intervensi optimal, akan memperbaiki prognosis dan mencegah
terjadinya disabilitas yang akan membuat pasien menderita berkelanjutan.
Pendekatan multidisiplin dengan fokus
pada kepentingan pasien harus menjadi perhatian bagi seluruh anggota tim.
Kesejahteraan jiwa pasien, harapan-harapan pasien dan kehidupan sosialnya
sebaikinya juga diupayakan terpenuhi disamping upaya penyembuhan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir N. 2005. Depresi,
Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Dadang Hawari D.
2002. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, Jakarta : Gaya Baru
Depkes dan
Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Pedoman Pembinaan Kesehatan Jiwa Usia Lanjut
Bagi Petugas Kesehatan, Jakarta.
Isaac. 2003. Buku
Pedoman Kesehatan Jiwa, Jakarta : tp.
Watson R. 2003.
Perawatan Pada Lansia, Jakarta : EGC